Rabu, 07 Oktober 2009

MEMORI SABTU PAGI

Sedih & prihatin rasanya membaca ataupun melihat berita di media massa belakangan ini. Tentang gempa dan gempa yang tengah menjadi sorotan. Maklum baru saja di tgl 2 September 2009 kemarin terjadi gempa berskala 7,3 Richter di Tasikmalaya, Jawa Barat, gempa besar terjadi lagi di Padang Pariaman. Kali ini skala gempa lebih besar yaitu 7,6 Richter. Kejadian demi kejadian itu seolah membuka luka lama yang telah tersimpan dihatiku selama 3 tahun. Memori yang tak ingin kuingat. Memori Sabtu pagi. Kurang lebih begini kisahnya :
Aku tiba – tiba merasakan ada goyangan yang lumayan kuat yang membangunkanku dari tidur yang lelap. Goyangan itu ialah gempa yang melanda kotaku tercinta Jogjakarta, di hari Sabtu pagi, tgl 27 Mei 2006. Dengan sigap dalam keremangan pagi, aku berusaha menggendong anak semata wayangku, Amel yang baru berumur 21 bulan , yang masih tertidur pulas. Goyangan itu juga menggoyang – goyang tubuhku, sehingga setelah Amel berada dalam gendonganku, aku serasa tak punya daya untuk melangkah, lebih – lebih untuk berlari. Sementara itu, papanya Amel juga telah terbangun dan segera berusaha membuka pintu kamar tidur, kemudian langsung berlari ke ruang tamu menuju ke pintu depan berusaha untuk membukanya. Karena telah terjadi pergeseran akibat gempa, pintu depanpun menjadi agak susah untuk dibuka, padahal kami bertiga sudah sangat panik dan takut, sehingga ingin segera bisa keluar dari dalam rumah. Dengan mengerahkan segenap tenaga, akhirnya papanya Amel berhasil membuka pintu depan itu.
Setelah sampai di luar rumah, para tetanggapun sudah berlarian keluar sambil berteriak “ Gempa … Gempa ! “ , bahkan ada pula yang lantang berteriak “ Tsunami..tsunami ! “ .. begitu pula yu Ni, pengasuh Amel, yang bekerja di rumahku, ternyata sudah berlari duluan keluar lewat pintu samping dengan sangat ketakutan. Suasana di luar rumah pagi itu sungguh sangat menegangkan dan semrawut. Semua orang berusaha pergi. Ada yang hanya berlari, ada yang naik sepeda kayuh, ada yang naik motor, bahkan ada juga yang naik mobil.
Setelah beberapa saat, papanya Amelpun masuk ke dalam rumah lewat pintu samping untuk memeriksa kondisi rumah, sekaligus mengeluarkan motor. Ternyata pagar tembok belakang rumah dan atap rumah bagian belakang, tempat yu Ni biasa cuci pakaian kami, telah ambruk. Pantas saja yu Ni terlihat sangat shock dan trauma.Kerusakan lain yang terjadi pada rumah kami ialah beberapa bagian dinding mengalami retak dan beberapa genteng di atap rumah melorot ke bawah.
Setelah berhasil mengeluarkan motor dari dalam rumah, akhirnya kami bertiga naik motor tersebut, dan segera pergi meninggalkan rumah kami, untuk mengungsi ke rumah mbah putrinya Amel, yang tinggal di sebuah desa kecil, di Godean, Jogjakarta, yang lokasinya bisa ditempuh dalam tempo 1 jam dari rumah kami di Maguwo ini. Sedangkan yu Ni pengasuh Amel, juga langsung minta pamit untuk pulang ke kampung halamannya di Klaten.
Sesampainya di rumah mbah putrinya Amel, di desa Kleben, Godean, ternyata mbah putri beserta penduduk desa juga merasakan kepanikan yang sama akibat gempa yang melanda. Karena goyangan gempa ternyata juga dirasakan lumayan keras oleh mereka. Meskipun tidak ada rumah yang ambruk, tetapi sebagian besar rumah warga di desa tersebut mengalami retak – retak pada dinding dan gentengpun banyak yang melorot. Demikian juga rumah mbah putri , banyak dinding – dinding yang retak serta genteng yang melorot. Akhirnya kami semua berkumpul di luar rumah, sambil bergandengan tangan, sedangkan Amel tak pernah mau lepas dari gendonganku.
Maksud hati mau mengungsi ke rumah mbah putri , tetapi ternyata di rumah mbah putripun sama keadaannya dengan di rumah kami. Meskipun begitu, kami merasa lega dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena kami masih diberi keselamatan dan kesempatan untuk berkumpul bersama dengan keluarga. Kami juga tak henti memanjatkan doa mohon kepadaNya supaya tidak ada gempa ataupun tsunami yang hadir lagi di kota kami. Amin.

Tidak ada komentar: